Senin, 24 Oktober 2011

My Childhood Memories with Father


The Pieces of My Childhood Memories with Father

Sedih dan semangat bercampur-campur bila berada dalam situasi seperti ini. Pukul 05.00 WIB, tiba-tiba terbangun dari mimpi buruk. Aku bermimpi ayahku menjadi tua, sudah mulai jompo, dan buta. Astaghfirullah.. Mungkin ini adalah alarm dari Yang Di Atas supaya aku bangun buat sholat subuh, hehehhee, but, let’s take a lesson from that. First, I’m gonna more work hard to finish my script and graduate from my bachelor degree as soon as possible. Di mimpi itu aku belum lulus, belum bekerja, dan have no money to pick my father to the hospital. T____T how pity I am… hiks hiks.. Yah, namanya juga mimpi, pasti ada unsur dramatis di dalamnya. Huft,, But, InsyaAllah my father is still strong and healthy until this day.Amin.
ayah dan adikku
Kemudian, setelah hening sejenak, aku jadi teringat masa-masa kecil dulu bersama ayah. Mungkin tak jauh berbeda dengan tokoh Ikal dalam tetralogi Laskar Pelangi, aku adalah seorang yang selalu mengagumi dan menganggap kedua orang tuaku adalah orang tua juara satu seluruh dunia, namun tak pernah menyatakannya secara langsung kepada mereka. Aku bukan berasal dari keluarga berada yang semua keinginannya di waktu kecil selalu terpenuhi, aku hanyalah seorang putri keluarga PNS yang hidup sederhana, dan selalu aku syukuri hingga saat ini. Orang tuaku cenderung kaku, sehingga sulit menyatakan rasa sayang kepada anaknya dengan vulgar. Cukup ditahan saja, namun aku tahu mereka sangat menyayangi kami. Lagi-lagi, tak jauh beda dengan konsep orang tua juara satu di Laskar Pelangi.
Waktu TK dan SD dulu, aku suka diantar jemput ayahku ke sekolah menggunakan sepeda yang bentuknya mirip, mungkin malah setipe dengan sepeda-sepeda yangs sering disewakan di Kota Tua. Sepeda itu tinggi, sehingga aku yang kecil ini suka digendong ayahku untuk bias naik ke boncengan sepeda itu. Oiya, ayahku adalah orang yang sangat teratur. Malam harinya beliau selalu memastikan semua barang-barangnya ke kantor telah siap serta mengecek apakah perlengkapanku untuksekolah besok sudah tertata rapi pula. Paginya beliau bangun pukul 04.00 pagi (hingga sekarang setelah pension pun ayah selalu bangun jam 4 pagi) setelah melakukan beberapa aktivitas rutin, beliau lalu membangunkan anak-anaknya pukul 05.00, mengecek sepedanya, sepeda Ibu, sepeda kakak apakah baik-baik saja, apakah anginnya cukupatau tidak, kemudian beliau duduk manis di sofa ruang tamu sambil minum teh manis buatan Ibu dan memandang anak-anaknya bersiap-siap berangkat sekolah. Kira-kira itu kebiasaan beliau hingga aku lulus SMA. Bahkan jika aku sedang liburan kuliah dan pulang ke kampong halaman, kebiasaan tersebut tidak berubah sama sekali.
Nah, sekarang kembali lagi ke “mengantar”aku ke sekolah. Setelah menaikkanku ke boncengan sepedanya, ayah lalu mengeluarkan saputangan warna merah dari saku celananya (yang aku yakini  sampai sekarang sapu tangan itu masih ada) kemudian digunakannya untuk mengikat kakiku di salah satu tiang sepedanya supaya kakiku tidak masuk ke roda sepeda. Pulang sekolah, aku dijemput ayah yang selalu standby di samping sekolah setengah jam sebelum aku pulang. Anak-anak lain biasanya merengek minta dibelikan kue-kue di toko sebelah sekolah jika dijemput orang tuanya, namun aku tidak seperti itu. Entah kenapa sejak kecil aku menyadari bahwa orangtuaku bukanlah orang kaya dan aku merasa bahwa “jajan” hanyalah kegiatan pemborosan yang tidak baik bagi ekonomi keluarga. Oleh karena itu aku tidak pernah protes ketika uang sakuku waktu SD hanya 100-200 rupiah per hari, SMP Rp.500,- dan SMA Rp 2.000,-. Hingga suatu hari aku ingin sekali “jajan” sesuatu setelah pulang sekolah. Kuberanikan diri berkata kepada ayahku “Ayah, bolehkah aku jajan di took Pak heri?” Ayahku tidak berkata banyak, kemudian mengantarku ke took itu. Jujur, aku ngiler sekali melihat jajanan ciki-cikian yang waktu itu sangat popular, tapi menurutku harganya mahal. Lalu kubilang lagi “Aku boleh minta nyamnyam gak yah? Cuma 200 ko?” Lagi-lagi ayahku tak banyak cingcong “Ambil aja”, katanya.
Dalam perjalanan pulang aku gembira sekali, kusimpan makanan itu sampai rumah. Lalu kumakan dalam hening dengan perasaan riang luar biasa. Kurasa itu adalah pertama kali dan terakhir kali aku minta dibelikan sesuatu makanan ringan waktu SD kepada ayahku.
Sejak kelas 3 SD, aku mulai ke sekolah sendiri karena aku sudah bisa naik sepeda. Kebiasaan ayahku setiap pagi masih sama, hanya saja sepeda yang harus dia cek setiap pagi bertambah satu. Sepeda yang kupakai adalah sepeda lama yang dicat baru oleh ayahku, berwarna merah, dan memiliki stang yang mirip motor Harley Davidson. Sebenarnya aku kurang suka dengan sepeda itu yang tentu saja aku tahu bahwa model sepeda seperti itu sangatlah kuno dan peluangku untuk menjadi bahan ejekan sangatlah besar. Namun aku terima saja sepeda itu, dan tersenyum senang ketika sepeda itu dicat mengkilap warna merah menyala. Ayahku juga menambahkan rantai yang biasanya untuk mengunci pagar rumah untuk mengunci sepedaku. Jadilah semua orang di sekolah tahu bahwa sepeda berwarna merah menyala, stang yang berdiri menengadah seperti motor Harley, dan berantai besar itu adalah sepedaku.
Pernah suatu pagi, sepedaku bocor bannya, sepagi itu belum ada bengkel yang buka. Hanya ada satu sepeda yang nganggur waktu itu, sepeda model jengki yang temat duduknya cukup tinggi sehingga jika kupakai tidak mungkin tinggi badanku ini bisa mencapai dudukan itu. Ayahku berkata “kamu ayah antar ke sekolah aja ya”. “Nggak usah pak, aku naik sepeda jengki aja” Kemudian dari jauh kulihat ayahku mengawasiku berangkat sekolah dengn sepeda itu. Oiya, sepeda itu mirip sepeda Lintang, lagi-lagi di film Laskar Pelangi, dimana caraku naik sepeda mirip sekali dengan Lintang, berdiri sambil mengayuh sepeda sepanjang jalan karena tempat duduknya terlalu tinggi.
Hal lain yang selalu ku ingat adalah bagaimana ayah melarang kami anak-anaknya untuk tidak melakukan permainan yang berbahaya layaknya anak-anak lain seperti berenang di sawah. Setiap pulang dari kantor, ayah selalu memastikan bahwa dia tahu dimana posisi anak-anaknya. Jika kami tidak ada dirumah, ayah akan berkeliling kampong untuk mencari kami. Beliau akan agak marah jika melihat kami bermain di sawah dan segera menyuruh kami pulang. Hingga saat ini aku baru sadar, bahwa itu adalah salah satu bentuk ketakutan ayah akan keselamatan kami.
Saat SD, ayahku selalu bercerita bahwa beliau dulu adalah juara kelas, murid teladan, dan terpandai di kelasnya. Aku percaya-percaya saja walaupun selama sekolah aku tidak pernah memintanya membantuku mengerjakan PR karena aku tidak yakin jawaban ayahku benar. Hingga saat SMP, aku bertemu dengan seorang guru yang ternyata adalah teman sekolah ayahku dulu. Guruku itu suka tertawa jika sedang menceritakan ayahku. Dari situ aku menduga, bahwa dulu sebenarnya ayahku bukanlah juara kelas, murid teladan atau sebagainya, menurutku beliau adalah seorang murid yang taat, lugu, patuh pada peraturan dan suka dimanfaatkan oleh teman-temannya yang nakal. Itu hanya hipotesisku saja sih. Bagaimanapun ayahku dulu, aku tetap bannga padanya. Ayahku setia kepada ibuku, tidak merokok, tidak minum, dan pekerja keras. Bagiku itu sudah lebih dari cukup.
Jika ingat masa-masa SD itu, sungguh sangat terharu aku dibuatnya. Betapa romantisnya suasana di pagi hari itu sebenarnya. Ayahku masih muda, mencintai keluarganya, dan bekerja tak kenal lelah demi masa depan anak-anaknya. Semoga harapanmu kepada anak-anakmu ini terwujud, dengan cara yang entah bagaimana kelak. Miss u dad..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar