The Pieces of My
Childhood Memories with Father
Sedih dan
semangat bercampur-campur bila berada dalam situasi seperti ini. Pukul 05.00
WIB, tiba-tiba terbangun dari mimpi buruk. Aku bermimpi ayahku menjadi tua,
sudah mulai jompo, dan buta. Astaghfirullah.. Mungkin ini adalah alarm dari
Yang Di Atas supaya aku bangun buat sholat subuh, hehehhee, but, let’s take a
lesson from that. First, I’m gonna more work hard to finish my script and graduate from
my bachelor degree as soon as possible. Di mimpi itu aku belum lulus, belum
bekerja, dan have no money to pick my father to the hospital. T____T how pity I
am… hiks hiks.. Yah, namanya juga mimpi, pasti ada unsur dramatis di dalamnya.
Huft,, But, InsyaAllah my father is still strong and healthy until this
day.Amin.
ayah dan adikku |
Kemudian,
setelah hening sejenak, aku jadi teringat masa-masa kecil dulu bersama ayah.
Mungkin tak jauh berbeda dengan tokoh Ikal dalam tetralogi Laskar Pelangi, aku
adalah seorang yang selalu mengagumi dan menganggap kedua orang tuaku adalah
orang tua juara satu seluruh dunia, namun tak pernah menyatakannya secara
langsung kepada mereka. Aku bukan berasal dari keluarga berada yang semua
keinginannya di waktu kecil selalu terpenuhi, aku hanyalah seorang putri keluarga
PNS yang hidup sederhana, dan selalu aku syukuri hingga saat ini. Orang tuaku
cenderung kaku, sehingga sulit menyatakan rasa sayang kepada anaknya dengan
vulgar. Cukup ditahan saja, namun aku tahu mereka sangat menyayangi kami.
Lagi-lagi, tak jauh beda dengan konsep orang tua juara satu di Laskar Pelangi.
Waktu TK dan SD
dulu, aku suka diantar jemput ayahku ke sekolah menggunakan sepeda yang bentuknya
mirip, mungkin malah setipe dengan sepeda-sepeda yangs sering disewakan di Kota
Tua. Sepeda itu tinggi, sehingga aku yang kecil ini suka digendong ayahku untuk
bias naik ke boncengan sepeda itu. Oiya, ayahku adalah orang yang sangat
teratur. Malam harinya beliau selalu memastikan semua barang-barangnya ke
kantor telah siap serta mengecek apakah perlengkapanku untuksekolah besok sudah
tertata rapi pula. Paginya beliau bangun pukul 04.00 pagi (hingga sekarang
setelah pension pun ayah selalu bangun jam 4 pagi) setelah melakukan beberapa
aktivitas rutin, beliau lalu membangunkan anak-anaknya pukul 05.00, mengecek
sepedanya, sepeda Ibu, sepeda kakak apakah baik-baik saja, apakah anginnya
cukupatau tidak, kemudian beliau duduk manis di sofa ruang tamu sambil minum teh
manis buatan Ibu dan memandang anak-anaknya bersiap-siap berangkat sekolah.
Kira-kira itu kebiasaan beliau hingga aku lulus SMA. Bahkan jika aku sedang
liburan kuliah dan pulang ke kampong halaman, kebiasaan tersebut tidak berubah
sama sekali.
Nah, sekarang
kembali lagi ke “mengantar”aku ke sekolah. Setelah menaikkanku ke boncengan
sepedanya, ayah lalu mengeluarkan saputangan warna merah dari saku celananya
(yang aku yakini sampai sekarang sapu tangan
itu masih ada) kemudian digunakannya untuk mengikat kakiku di salah satu tiang
sepedanya supaya kakiku tidak masuk ke roda sepeda. Pulang sekolah, aku
dijemput ayah yang selalu standby di samping sekolah setengah jam sebelum aku
pulang. Anak-anak lain biasanya merengek minta dibelikan kue-kue di toko sebelah
sekolah jika dijemput orang tuanya, namun aku tidak seperti itu. Entah kenapa
sejak kecil aku menyadari bahwa orangtuaku bukanlah orang kaya dan aku merasa
bahwa “jajan” hanyalah kegiatan pemborosan yang tidak baik bagi ekonomi
keluarga. Oleh karena itu aku tidak pernah protes ketika uang sakuku waktu SD
hanya 100-200 rupiah per hari, SMP Rp.500,- dan SMA Rp 2.000,-. Hingga suatu
hari aku ingin sekali “jajan” sesuatu setelah pulang sekolah. Kuberanikan diri
berkata kepada ayahku “Ayah, bolehkah aku jajan di took Pak heri?” Ayahku tidak
berkata banyak, kemudian mengantarku ke took itu. Jujur, aku ngiler sekali
melihat jajanan ciki-cikian yang waktu itu sangat popular, tapi menurutku
harganya mahal. Lalu kubilang lagi “Aku boleh minta nyamnyam gak yah? Cuma 200
ko?” Lagi-lagi ayahku tak banyak cingcong “Ambil aja”, katanya.
Dalam perjalanan
pulang aku gembira sekali, kusimpan makanan itu sampai rumah. Lalu kumakan
dalam hening dengan perasaan riang luar biasa. Kurasa itu adalah pertama kali
dan terakhir kali aku minta dibelikan sesuatu makanan ringan waktu SD kepada
ayahku.
Sejak kelas 3
SD, aku mulai ke sekolah sendiri karena aku sudah bisa naik sepeda. Kebiasaan
ayahku setiap pagi masih sama, hanya saja sepeda yang harus dia cek setiap pagi
bertambah satu. Sepeda yang kupakai adalah sepeda lama yang dicat baru oleh
ayahku, berwarna merah, dan memiliki stang yang mirip motor Harley Davidson. Sebenarnya
aku kurang suka dengan sepeda itu yang tentu saja aku tahu bahwa model sepeda
seperti itu sangatlah kuno dan peluangku untuk menjadi bahan ejekan sangatlah
besar. Namun aku terima saja sepeda itu, dan tersenyum senang ketika sepeda itu
dicat mengkilap warna merah menyala. Ayahku juga menambahkan rantai yang
biasanya untuk mengunci pagar rumah untuk mengunci sepedaku. Jadilah semua
orang di sekolah tahu bahwa sepeda berwarna merah menyala, stang yang berdiri
menengadah seperti motor Harley, dan berantai besar itu adalah sepedaku.
Pernah suatu
pagi, sepedaku bocor bannya, sepagi itu belum ada bengkel yang buka. Hanya ada
satu sepeda yang nganggur waktu itu, sepeda model jengki yang temat duduknya
cukup tinggi sehingga jika kupakai tidak mungkin tinggi badanku ini bisa
mencapai dudukan itu. Ayahku berkata “kamu ayah antar ke sekolah aja ya”. “Nggak
usah pak, aku naik sepeda jengki aja” Kemudian dari jauh kulihat ayahku
mengawasiku berangkat sekolah dengn sepeda itu. Oiya, sepeda itu mirip sepeda
Lintang, lagi-lagi di film Laskar Pelangi, dimana caraku naik sepeda mirip
sekali dengan Lintang, berdiri sambil mengayuh sepeda sepanjang jalan karena
tempat duduknya terlalu tinggi.
Hal lain yang
selalu ku ingat adalah bagaimana ayah melarang kami anak-anaknya untuk tidak
melakukan permainan yang berbahaya layaknya anak-anak lain seperti berenang di
sawah. Setiap pulang dari kantor, ayah selalu memastikan bahwa dia tahu dimana
posisi anak-anaknya. Jika kami tidak ada dirumah, ayah akan berkeliling kampong
untuk mencari kami. Beliau akan agak marah jika melihat kami bermain di sawah
dan segera menyuruh kami pulang. Hingga saat ini aku baru sadar, bahwa itu
adalah salah satu bentuk ketakutan ayah akan keselamatan kami.
Saat SD, ayahku
selalu bercerita bahwa beliau dulu adalah juara kelas, murid teladan, dan
terpandai di kelasnya. Aku percaya-percaya saja walaupun selama sekolah aku
tidak pernah memintanya membantuku mengerjakan PR karena aku tidak yakin
jawaban ayahku benar. Hingga saat SMP, aku bertemu dengan seorang guru yang
ternyata adalah teman sekolah ayahku dulu. Guruku itu suka tertawa jika sedang
menceritakan ayahku. Dari situ aku menduga, bahwa dulu sebenarnya ayahku
bukanlah juara kelas, murid teladan atau sebagainya, menurutku beliau adalah
seorang murid yang taat, lugu, patuh pada peraturan dan suka dimanfaatkan oleh
teman-temannya yang nakal. Itu hanya hipotesisku saja sih. Bagaimanapun ayahku
dulu, aku tetap bannga padanya. Ayahku setia kepada ibuku, tidak merokok, tidak
minum, dan pekerja keras. Bagiku itu sudah lebih dari cukup.
Jika ingat
masa-masa SD itu, sungguh sangat terharu aku dibuatnya. Betapa romantisnya
suasana di pagi hari itu sebenarnya. Ayahku masih muda, mencintai keluarganya,
dan bekerja tak kenal lelah demi masa depan anak-anaknya. Semoga harapanmu kepada
anak-anakmu ini terwujud, dengan cara yang entah bagaimana kelak. Miss u dad..